Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 53
Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural
Konsep Pendidikan Formal
dengan Muatan Budaya Multikultural
Prof. Dr. Sutjipto*)
*) Guru Besar Universitas Negeri Jakarta
Opini
Pengantar
endidikan formal atau lebih dikenal dengan sistem persekolahan,
mempunyai peranan yang amat menentukan perkembangan potensi
manusia secara maksimal, sehingga manusia itu memiliki ketajaman
response terhadap lingkungannya, ketrampilan, intelektual, sehat dan
berkehidupan yang baik, koperatif, mempunyai motivasi yang tinggi untuk
berprestasi, mampu berkompetisi, toleran, dapat menghargai pendapat orang
lain, dan mampu mencapai kebahagiaan hidup. Peranan persekolahan dalam
pembentukan kepribadian manusia ini belum dapat digantikan oleh sistem
yang lain, meskipun pada tahun delapanpuluhan pernah ada pemikiran bahwa
sekolah tidak lagi diperlukan masyarakat (deschoolling society).
Kultur
Meskipun perkembangan manusia itu berlangsung secara individual, namun
manusia bukanlah atom yang self-contained (World Commission on Culture
and Development, 1995). Perkembangan yang dicapainya adalah hasil
kerjasama, kompetisi dan bentuk interaksi lainnya dengan manusia lain dan
lingkungannya. Pada saat berinteraksi itu, ia tidak berada dalam ruang yang
kosong, tetapi berada dalam suatu kultur. Kultur sendiri memang sulit
didefinisikan, namun tidak dapat disangkal bahwa ia berfungsi sebagai
katalisator pembentukan kepribadian manusia itu, dan sekaligus menjadi tujuan
kehidupan suatu masyarakat. Barangkali apa yang dijelaskan oleh Schein
(1992) dapat menolong memahami pengertian kultur tersebut. Menurut Schein,
ada beberapa hal yang berhubungan dengan konsep kultur, yaitu:
(a). regularitas prilaku manusia jika ia berinteraksi dengan yang lain, yang
meliputi bahasa yang dipergunakan, kebiasaan dan tradisi, ritual yang
dilakukan;
(b). norma kelompok, yaitu standar dan nilai yang berkembang dalam suatu
P
54 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural
kelompok;
(c). nilai yang ingin dicapai oleh suatu kelompok dan diketahui umum;
(d). filosofi atau keyakinan yang dianut oleh suatu komunitas;
(e). aturan main, yang harus diikuti oleh anggota komunitas itu;
(f). iklim, yaitu apa yang dirasakan bersama tentang lingkungan dimana
seseorang berada;
(g). ketrampilan yang melekat yang diwariskan kepada generasi muda;
(h). kebiasaan berpkir, model mental dan/atau paradigma linguistik, yang
merupakan kerangka kognitif yang dirasakan sebagai acuan dalam
membangun persepsi, berpikir dan bahasa yang dipakai kelompok;
(i). shared meaning, yaitu munculnya pengertian yang diciptakan oleh
kelompok pada saat mereka berinteraksi satu sama lain, dan
(j). akar metafora (root metaphors) atau integrasi simbol, yaitu ide, perasaan,
dan citra kelompok yang dikembangkan sebagai ciri kelompok itu yang
dapat atau tidak diapresiasi secara sadar, namun melekat dalam berbagai
karya seperti bangunan, layout kantor dan artifak lainnya.
Schein juga mengatakan bahwa sembilan konsep tersebut memang
berkaitan dengan kultur, merefleksikan bagaimana kelompok menanggapi
sesuatu tetapi bukan kultur itu sendiri. Dikatakan kultur, jika ada dua elemen
yaitu:(1) structural stability dalam kelompok, yang tidak hanya di shared, tetapi
merupakan sesuatu yang stabil dan mendalam, dan (2) proses berpolanya
atau terintegrasinya elemen-elemen itu ke dalam paradigma atau gestalt yang
lebih besar yang terbentuk dalam lapisan kejiwaan yang lebih mendalam, di
antara anggota-anggota kelompok itu. Ada pernyataan Schein yang perlu
dikutip, sehubungan dengan kultur terutama dalam kaitannya dengan suatu
proses belajar. Ia mengatakan sebagai berikut:
The most useful way to think about culture is to view it as the accumulated
shared learning of a given group, covering behavioral, emotional, and
cognitive elements of the group members’ total psychological functioning.
For shared learning to occur, there must be a history of shared experience,
which in turn implies some stability of membership in the group. Given
such stability and shared history, the human need for parsimony,
consistency, and meaning will cause the various shared elements to form
into patterns that eventually can be called culture (p.10).
Kutipan itu menunjukkan bahwa kultur adalah suatu proses yang di satu
pihak stabil, tetapi juga di lain pihak selalu berkembang sesuai dengan akuisisi
dari suatu proses shared learning.
Jika digunakan konsep kultur sebagai proses belajar yang menuntut
keterlibatan psikologis yang total dan intensif para pelakunya, maka pendidikan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 55
Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural
multikultural merupakan proses kulturalisasi tentang multikultural. Jika
diperhatikan pula bahwa kultur adalah shared meaning akibat interaksi dengan
lingkungan, pendidikan itu sendiri sebenarnya adalah proses pembentukan
kultur multikultural. Sejak anak lahir, ia bersosialisasi dengan lingkungannya.
Jika ia menangis, maka orang tuanya mengerti apa artinya tangisan itu. Ia
makin berkembang, dan dalam keluarga itu ia belajar bagaimana berbagi
perasaan dan arti dengan ibu, bapak, saudara, nenek yang kemudian
berkembang ke sanak saudara dan tetangga dan masyarakat yang makin
lama makin luas, sehingga masuk kepada budaya dunia (global culture). Ia
harus secara cerdas mengakomodasi nilai-nilai yang terterpa (exposed)
kepadanya, sehingga terbentuk kulturnya melalui proses internalisasi nilai
itu. Pendidikan formal kemudian ikut memberikan andil dalam proses
pembentukan kultur itu sendiri. Dengan kata lain, pendidikan formal adalah
bagian dari proses pembentukan budaya multikultural. Masalahnya adalah,
apa pelaku pendidikan (shareholders) menyadari tentang masalah ini, dan
secara sengaja dan sistematik membangun suasana sehingga terjadi proses
pendidikan multikultural itu dapat berlangsung, dan lembaga pendidikan tidak
hanya bermuatan tetapi merupakan ajang pendidikan multikultural.
Pendidikan Multikultural
Adalah sangat penting di dalam proses membangun budaya multikultural dalam
sistem persekolahan ini untuk memperhatikan apa yang dikemukakan oleh
Komisi Dunia untuk Kebudayaan dan Pembangunan Unesco (1995):
A multi-cultural country can reap great benefits from its pluralism, but
also runs the risk of cultural conflicts. It is here that government policy is
important. Governments cannot determine a people’s culture; indeed,
they are partly determined by it. But they can influence it for better or
worse and in so doing affect the path of development (p.25)
Mengingat bahwa peranan kebijaksanaan pendidikan sekarang berada di
daerah, maka resiko pendidikan multikultural ini dapat terjadi, apabila menjadi
overdone. Pendidikan multikultural mengakui perbedaan dan mendorong
perbedaan ini tetap ada. Namun pelestarian perbedaan dapat menyempit,
mengeraskan dan membentuk apa yang disebut dengan cult of ethnicity, yang
dapat mengakibatkan bahasa mengalami balkanisasi. Mungkin saja pendapat
ini berlebihan tetapi peringatan yang demikian juga perlu kita pertimbangkan.
Sebenarnya pendidikan multikultural sudah lama ada. Di Amerikan gerakan
pendidikan ini telah dimulai sejak tahun 60-an, karena mereka menyadari
bahwa bangsa Amerika mempunyai unsur dari berbagai sukubangsa di dunia.
Namun demikian debat tentang pendidikan ini juga masih berlangsung sampai
56 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural
sekarang. Para penentang pendidikan multikultural berargumentasi bahwa
hanya konsep negara bangsa yang netral yang dapat menjamin kebebasan
individual, kesamaan (equality), dan hak persamaan warganegara. Menurut
mereka pendidikan multikultural merupakan pendekatan yang mengganti
universalisme dengan partikularisme yang memunculkan kesukuan dalam
relisme pendidikan kewarganegaraan. Akomodasi multikulturalisme dapat
membawa akibat balkanisasi. (Lihat May, 1999). Para pendukung tentu saja
berargumentasi, bahwa pada realitasnya budaya merupakan hal yang dapat
memperkaya kehidupan, dan pengakuan budaya tersebut merupakan bagian
dari kehidupan demokrasi sehingga perlu dikembangkan sikap toleransi, saling
menghargai dan memahami sehingga terjadi kehidupan damai tanpa konflik.
Komisi dunia untuk Kebudayaan dan Pembangunan, menyebut perlunya
diciptakan global ethics yang didasarkan atas elemen-elemen (1) hak azazi
manusia dan tanggungjawab, (2) demokrasi dan elemen masyarakat madani,
(3) perlindungan terhadap golongan minoritas, (4) komitmen terhadap
pemecahan konflik secara damai, (5) kesamaan dalam dan antara generasi.
Ini merupakan bagian dari komitmen terhadap pluralisme.
Dalam era otonomi daerah, sistem persekolahan mempunyai otonomi
yang lebih besar. Pendidikan yang bermuatan multikultural tidak mungkin dapat
dicapai dengan kurikulum yang mengandalkan kompetensi yang dapat diukur
semata-mata dan didasarkan atas standar nasional yang kaku, lebih-lebih
dengan sistem yang sentralistik. Sekolah harus berfungsi sebagai lembaga
pembudayaan, dalam pengertian menjadi lembaga yang dapat menyediakan
kesempatan dan fasilitas untuk terjadinya proses pembudayaan yang dinamik.
Ini memerlukan perubahan paradigma (paradigm shift) bagi para guru dan
terutama pengambil kebijaksanaan pendidikan. Pendidikan multikultural
bertujuan memperluas bukan hanya toleransi terhadap budaya yang berbeda,
tetapi lebih jauh dari itu adalah mengembangkan mutual respect. Pelaksanaan
konsep ini memerlukan dikembangkannya pengalaman kelompok yang
dibangun dengan memeprhatikan pemahaman yang pada gilirannya menjadi
sikap yang relatif stabil dan konsisten. Culture formation, therefore, is always,
by definition, a striving toward patterning and integration (Schein, 1992).
Sudah barang tentu proses ini memerlukan waktu dan usaha pemeliharaan
yang harus menjadi perhatian para guru. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan
bahwa belajar bukan hanya terjadi pada aras (level) perilaku, tetapi juga
terjadi secara internal pada aras abstrak, misalnya pada keyakinan terhadap
asumsi dasar perilaku itu.
Manajemen berbasis sekolah memberikan kesempatan yang lebih besar
untuk mengakomodasi pendidikan multikultural, dalam perspektif filsafat
nasional. Hal ini dapat dicapai melalui tahap pemberdayaan sekolah dan perlu
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 57
Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural
diberikan waktu untuk belajar, termasuk membuat kesalahan. Karena kultur
menyangkut asumsi yang menjadi dasar nilai, tujuan dan strategi yang
kemudian terlihat dari artifaknya baik fisik maupun perilaku, maka pemahaman
dan internalisasi nilai multikultural itu menjadi amat penting, dan bukan hanya
menyangkut masalah kurikulum. Sebagai wahana pengembangan, kurikulum
memang penting, tetapi perlu diingat bahwa hal itu hanya merupakan sebagian
dari dari upaya menciptakan pendidikan yang bermuatan multikultural.
Orangtua, kepala sekolah, guru, bangunan fisik sekolah, proses belajar
mengajar, perlakuan terhadap murid, kesempatan terlibat dalam kegiatan
kelompok, belajar melakukan perbandingan dari berbagai macam kultur dalam
bentuk shared learning adalah contoh beberapa perangkat untuk menciptakan
pendidikan yang bermuatan multikultural. Pendidikan multikultural berarti juga
pengembangan kreativitas yang merupakan faktor yang sangat penting dalam
pendidikan. Orang tidak akan kreatif dalam situasi yang kaku, dan penuh
komando, tetapi akan berkembang jika mereka merasa aman. Sekolah harus
menjadi tempat yang menyenangkan untuk berinteraksi sebagai bagian dari
group learning untuk membangun kultur. Pembangunan kultur multikultural
inilah yang harus menjadi bagian penting dalam manajemen sekolah.
Penutup
Kultur multikultural memerlukan proses belajar dan sosialisasi yang terusmenerus.
Apa yang perlu dikembangkan adalah kultur untuk menjadi proactive
problem solver, mencari kebenaran dengan membuka jawaban terhadap
masalah, memahami bahwa nilai tidak selalu hitam-putih, bahwa kepercayaan
(trust) adalah nilai yang amat penting dalam kehidupan yang beragam, bahwa
informasi untuk mengambil keputusan harus mengalir tanpa hambatan melalui
berbagai macam keterhubungan dalam suatu jaringan kerja.
Dilihat dari manajemen sistem pendidikan, perlu dicatat, bahwa diperlukan
guideline untuk para pengambil kebijaksanaan tentang pelaksanaan
kebijaksanaan pendidikan yang bermuatan multikultural. Namun yang lebih
penting adalah praktek manajeman itu sendiri. Respek terhadap budaya etnik,
terhadap putra daerah lain, terhadap kreativitas guru dan murid,
mengembangkan dialog dalam memecahkan konflik, tidak mengandalkan
orientasi komando dalam manajemen, adalah beberapa contoh bagaimana
manajemen pendidikan seharusnya dilaksanakan.
Daftar Pustaka
Delors, Jacques. (1998). Learning: The treasure within. Unesco Publishing,
May, Stephen. Critical Multiculturalisme and Cultural Difference: Avoid58
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural
ing Essentialism. In Stepen May (Ed.) (1999). Crittical multiculturalism:
Rethingking multicultural and antiracist education. Philadelphia: Palmer
Press
Schein, Edgar H. Organizational culture and leadership. (1992). San Francisco:
Jossey-Bass Publishers
Tilaar, H.A.R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan global masa
depan dan transformasi pendidikan nasional. Jakarta: Grassindo,
UNDP, Human Development report 2004: Cultural libery in today’s world. New
York: UNDP 2004
World Commision on Culture and Development. Our creative diversity. Unesco,
1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar